Pendahuluan
Penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) di dalam kelas untuk mengajarkan ilmu dan teknologi telah meningkat secara dramatis dalam beberapa tahun terakhir dan juga telah terbukti menjadi sangat efektif alat dalam berbagai situasi (Kocijancic dan O’sullivan, 2004). Demikian juga sejak pemerintah memasukkan TIK sebagai bagian dalam pedidikan di Indonesia, banyak sekolah yang mulai memanfaatkannya dalam pembelajaran. Memasukkan TIK kedalam sebuah susunan kurikulum, sangat memungkinkan untuk mengenalkan tentang teknologi ini mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Melihat perkembangan yang luar biasa pada penggunaan TIK membuat dunia pendidikan mengalami transformasi dari yang berbentuk klasikal berubah menjadi pembelajaran individu yang bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja. Hal ini memberikan paradikma baru bahwa guru yang tadinya merupakan tokoh sentral dalam pendidikan bergeser menjadi akselerator dan motivator bagi siswanya dan bukanlah sumber satu-satunya disekolah. Untuk itu menjadi sebuah tuntutan bagi seorang guru di sekolah harus menguasai dan semakin banyak memperdalam TIK untuk menambah literatur pembelajaran dan mengembangkan inovasi dalam proses belajar mengajar (Pedoman Pelaksanaan RSBI, 2008).
Meskipun di Indonesia TIK masih terhitung baru dalam dunia pendidikan tetapi mengalami perkembangan yang begitu cepat. Diawali dari eksplorasi materi-materi pembelajaran yang berkualitas seperti buku, jurnal dan literatur yang lain. Bahkan memungkinkan untuk membangun sebuah forum yang bersifat ilmiah sampai pada bentuk konsultasi-konsultasi atau diskusi dengan para pakar di dunia, hal ini memungkinkan untuk dilakukan karena nyaris tidak ada sekat yang membatasi dan bisa dilakukan oleh setiap individu. Tidak hanya berhenti sampai disitu saja, dengan pesatnya perkembangan TIK ternyata diikuti pula perkembangan software dalam dunia pendidikan. Sekarang ini banyak dijumpai software yang dikembangkan baik oleh institusi pemerintah, perusahaan swasta maupun oleh individu. Kondisi yang seperti ini maka siswa tidak lagi kesulitan untuk memanfaatkannya sebagai sumber ilmu di luar dari yang sudah diajarkan guru di kelas. Pergeseran yang begitu cepat inilah yang memberikan warna baru dalam dunia pendidikan dan memunculkan hal-hal baru dalam dunia pendidikan yang dikenalkan dengan istilah-istilah blended learning, e-learning, distance learning, online learning, web based learning, computer based learning, virtual class room, virtual laboratory dan masih banyak lagi yang kesemuanya berbasis TIK. Telah terjadi perubahan yang cepat terhadap learning space.
Kembali ke atas
Pembelajaran IPA
Di sekolah, IPA dibagi menjadi tiga bagian yaitu ilmu Fisika, ilmu Kimia dan Ilmu Biologi yang diarahkan untuk mendidik siswa agar mampu mengembangkan observasi dan eksperimentasi serta berpikir taat asas. Mata pelajaran IPA yaitu Fisika, Kimia dan Biologi diajarkan dengan tujuan, mengamati, memahami, dan memanfaatkan gejala-gejala alam yang melibatkan zat (materi), energi dan makhluk hidup. Dari tiga bagian tersebut, yang paling mendasar adalah fisika. Namun sayangnya fisika justru paling ditakuti. Menurut Leanerts (2003), melalui sebuah proyek ‘Physics Education Research (PER)’, didapatkan hasil bahwa pembelajaran fisika dasar masih sering dilakukan secara tradisional. Pembelajaran fisika justru telah meningkatkan kesalahan dan tidak efisien. Dalam hal ini proses pembelajarannya tidak lain hanya memberikan sekumpulan resep yang diperlukan untuk transfer pengetahuan. Selama lebih dari satu dekade terakhir ini cara tersebut telah menghasud (rustigated) dan mengatur (condacted) para fisikawan itu sendiri. Dan biasanya malah hal itu dilakukan oleh fisikawan yang terkemuka. Mereka mendemonstrasikan secara berlimpah, pengajaran fisika dengan cara memberikan, menggunakan dan berkreasi dengan beberapa ramuan atau rumus untuk menyokong resep pengetahuan. Akibatnya pengetahuan siswa untuk memahami konsep mendasar tentang fenomena fisika dalam kehidupan nyata cenderung dangkal dan ‘kabur’ dan bahkan salah konsep. Siswa cenderung memahami konsep tersebut secara setengah-setengah, sedangkan konsep secara utuh malah menjadi kabur. Mereka selalu memahami fenomena fisika dalam kehidupan nyata sebagai sebuah kejadian yang diidealkan, tanpa memandang adanya bias yang terjadi. Konsep yang disampaikan bukan sebagai suatu fenomena alam yang harus diamati, diukur, dianalisis dan didiskusikan, melainkan hanya sebagai fakta yang sudah ideal.
Kembali ke atas
Perkembangan Laboratorium Virtual
Laboratorium Virtual secara bahasa dapat diartikan sebagai tempat atau kamar yang tidak nyata yang dilengkapi dengan peralatan untuk mengadakan percobaan atau penyelidikan dan sebagainya secara tidak langsung. Atau Laboratorium Virtual adalah berupa software komputer yang memiliki kemampuan untuk melakukan modeling peralatan komputer secara matematis yang disajikan melalui sebuah simulasi.
Laboratorium Virtual mungkin tidak perlu komprehensif, namun pada prinsipnya adalah bentuk upaya pengintegrasikan TIK dalam kurikulum pembelajaran IPA dengan tujuan: (1) memberikan alat kepada siswa untuk bekerja dalam IPA; (2) memberikan kesempatan kepada siswa dalam rangka memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang IPA, bila dibandingkan dengan pengajaran konvensional yang telah diperolehnya; (3) mendorong siswa untuk mengungkap permasalahan IPA dalam cara yang sama dengan bagaimana para ahli bekerja dalam konteks penelitiannya. (4) mengenalkan berbagai metoda numerik dan lahan baru belajar IPA khususnya fisika melalui penggunaan metoda tersebut; (5) memberikan contoh-contoh, bagaimana IPA dapat diaplikasikan dalam konteks yang lebih luas daripada hal yang telah didiskusikan dalam kurikulum IPA yang tradisional; (6) pembelajaran dalam menulis program komputer dalam konteks bekerja secara ilmiah.
Kembali ke atas